Sabtu, 03 Juli 2010

Tanya Hati part 9 :: Rasa Ini

Rasa Ini

 

            Berusaha melangkah, dengan secepat mungkin. Namun susah, sakit. darah yang muncul dari lututnya kini mulai turun ke seluruh kakinya. Dan di kepala Agni. Banyak orang memandangnya, ada juga anak kecil yang mengejeknya ‘orang gila’ tapi ia tak peduli.

            Sesosok laki-laki yang seluruh tubuhnya basah akibat keringat muncul di hadapan Agni. Dialah, dia pahlawan kecil yang selalu setia pada Agni. Cakka.

            “Agni!” ia memegang tubuh Agni yang lemas dengan kedua tangannya. Wajah khawatir kini terpampang di wajah gantengnya.

            “Ca..Cakka?”

            “Agni, kamu kenapa?” tanyanya. Agni sudah tak kuat, niatnya ingin menyingkir dari Cakka. Namun, tubuhnya telah sangat lemah, dan pingsan. Untung Cakka dapat menahan Agni sebelum ia terjatuh.

            “Agni.. Bangun, Ag! Agni!” teriak Cakka. Karena Agni tak kunjung sadar, akhirnya Cakka membawa Agni dengan kedua tangannya serta sisa tenaganya ke rumahnya yang tak jauh dari tempat itu.

                                                                        ***

            “Permisi! Rio! Ini Keke!” panggil Keke sambil mengetuk pintu. Wajah bahagia kini ada di wajah manisnya. Begitu juga Ray, yang bahagia melihat senyum Keke. Rio membuka pintu. Wajahnya kini ada bekas krim kue, dan muncul lah Oik dari belakang Rio.

            “Ih! Rio nakal!” serunya.

            “Kamu kan yang mulai!” balas Rio menjulurkan lidah pada Oik. Keke melihat itu dengan wajah kecewa. Ray yang sadar langsung berdehem supaya Rio dan Oik menyadari bahwa ada Keke dan dia.

            “Eh, maaf..,” ujar Oik. Lalu ia memandang wajah Keke.

            “Keke!” sapanya ramah. Keke hanya membalas senyuman yang mulai memudar. Oik menggigit ujung bibirnya.

            ‘Aku salah ya?’ pikirnya.

            “Ayo, Ke.. masuuk!” ajak Rio. Keke mengangguk, wajahnya tak sebahagia saat ia akan pulang tadi. Kini senyuman itu entah hilang pergi ke Amerika atau ke Jepang.

            ‘Rio, enggak peka banget!’ batin Ray kesal. Ia gemas pada Rio yang hanya mengucapkan kalimat apa adanya yang makin membuat Keke murung.

                                                                        ***

            Obiet, berjalan sambil menuntun sepeda Agni yang sedikit penyok. Ia terbayang-bayang wajah Agni tadi.

            “Agni, sekarang gimana ya? kok aku jadi khawatir dia tiba-tiba?” pikirnya.

                                                                        ***

            “Agni… Bangun.. Kumohon.. Bangun…,” ujar Cakka menggenggam erat tangan Agni. Perlahan mata Agni terbuka, senyum gembira terpasang di bibir Cakka. Cakka segera menyerbu beberapa pertanyaan.

            “Agni! Kamu enggak pa-pa kan? Mana yang masih sakit? biar aku panggil doker ya? eh, kakimu bisa digerakin kan? Agni! Ayo jawab dong!” tanya Cakka bertubi-tubi. Agni memandang Cakka, kemudian beberapa butiran cairan bening keluar, membasahi pipi Agni. Cakka jadi bingung.

            “Agni! Mana yang sakit? aku panggil dokter aja ya?” tanya Cakka kebingungan. Agni tak menjawab, lalu ia memeluk Cakka.

            “Aku kangen Cakka!” ujarnya. Cakka terheran-heran, lalu ia mengelus rambut Agni dengan lembut.

            “Iya, Ag.. Aku disini kok..,” sambung Cakka. Agni masih memeluk Cakka erat, rasanya nyaman. Ia benar-benar rindu Cakka yang menyelamatkannya. Padahal baru beberapa jam ia meninggalkan Cakka. Tiba-tiba Agni merasakan perih, di kakinya. Ia menjerit kesakitan.

            “Agni? Mana yang sakit? kakinya? Atau kepalanya pusing?”

            “Kakiku.. perih.. sakit..,” jawab Agni. Cakka mengelus kaki Agni dengan lembut. Awalnya terasa sakit, namun makin lama rasa perih, sakit itu hilang. Cakka benar-benar pahlawan kecil Agni. Karena menangis suatu kegiatan yang lumayan menguras tenaga, Agni tertidur. Kedua mata mungil itu kini terpejam.

            Dari kejauhan, Obiet yang awalnya berniat mengajak Cakka mampir ke rumah Agni melihat semua itu. Entah apa yang terjadi, ada rasa cemburu dihatinya. Tunggu..tunggu, bagaimana denga Oik? Apakah Agni tiba-tiba menggusur Oik dari hati Obiet?

            ‘Aku enggak boleh suka sama Agni!’ batin Obiet menggelengkan kepalanya. Lalu ia berlari pergi.

            ‘Peluklah diriku dan jangan kau lepas…’

            “Ada sms,” ujar Cakka. Lalu ia membuka isi sms yang ia dapat.

            ‘JANGAN LO AMBIL AGNI DARI GUE! GUE ENGGAK BAKAL BIARIN LO NEMBAK DIA!!’ begitulah isi smsnya. Membuat Cakka terkejut. Apa maksudnya?

            ‘Tapi, kenapa dia bisa tau.. Ah, jadi kacau gini sih!’ batin Cakka.

                                                                        ***

            Beberapa jam, Keke berada di rumah Rio. Bosan. Jelas saja, Rio dan Oik asik berbincang tanpa Keke. keke hanya dianggap angin yang lewat begitu saja. Ray mendengus kesal karena ia tahu bahwa kacang-kacang telah terlempar ke Keke.

            Ray menarik tangan Rio, “Pinjem Rio bentar ya.. OIK,” ujarnya dengan penekanan nama ‘Oik’

                                                                        ***

            “Yo! Kamu sadar enggak sih? jadi orang enggak peka banget! Keke itu daritadi liatin kamu sama Oik! Dia itu dulu waktu di Semarang hampir setiap hari ngoceh-ngoceh cerita tentang kamu! Waktu perjalanan pulang tadi Keke kayak udah enggak sabar ketemu kamu! Kamu mau bikin kecewa dia?” jelas Ray panjang lebar. Rio terdiam. “Keke itu… sayang banget sama kamu, Yo!” sambung Ray lalu menggerakkan kursi rodanya tanpa menunggu tanggapan Rio.

            Rio masih diam di tempat, ia memutar ulang memorinya bersama Keke. waktu kecil, Rio ingat betul saat ia merengek menangis hanya karena dipukul Abner. Dan Keke, membelanya dan menolong. Uh, betapa cengengnya aku saat itu! Pikir Rio.

            ‘Aku bodoh! Aku yang salah!’ batin Rio lalu kembali ke tempat Oik dan Keke.

            Rio mendekat ke Keke, Keke yang sedang melihat-lihat foto-foto yang terpajang di dinding rumah Rio. Bermacam-macam, ada saat Rio waktu kecil, hingga foto ayahnya, yang menjadi tentara, dan jarang di rumah.

            “Keke..,” panggil Rio. Keke otomatis menoleh. Ia memasang wajah terkejut.

            “Rio ah! Bikin kaget aja!” keluh Keke.

            ‘Kenapa aku jadi canggung kini di depan Rio?’ pikir Keke saat ia susah untuk berkata-kata saat Rio memanggilnya.

            “Keke! Keke! haloo?” Keke sadar dari pikirannya. Lalu bertanya ‘ada apa?’ pada Rio. Rio memandangnya serius, ia menunduk. Dan Rio meraih tangan Keke, ia genggam erat.

            “Ke.. Maafin aku ya.. Kamu balik kesini, bukannya nyapa atau tanya-tanya atau ngobrol bareng malah aku nyuekin kamu dan aku malah asik ngobrol sama Oik.. Sumpah deh, Ke-,” Keke hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya saat mendengar ocehan. Keke menempatkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Rio.

            “Aku udah maafin kok sebelum kamu minta maaf,” ujar Keke. Rio tersenyum.

            “Berarti harusnya aku enggak usah minta maaf ya, kan katamu kamu udah maafin sebelum aku minta maaf! Hahaha!” ledek Rio. Keke memanyunkan bibirnya. Ia melempar bantal ke Rio.

            “Kalau gitu enggak jadi aku maafin loh!” katanya. Rio tertawa, saat Keke akan melempar bantal sekali lagi. Ia mencegahnya.

            “Selamat datang Keke!” Keke awalnya bingung, lalu ia tersenyum manis.. manis sekali.

            “Terima Kasih Rio,”

            ‘Emang, aku enggak mungkin.. aku enggak mungkin dan enggak seharusnya suka sama Rio.. Bukan Rio, bukan Cakka, lalu siapa?’ batin Oik yang melihat dari pintu luar kamar Rio.

                                                                        ***

            Agni kini sedang berjalan santai menuju rumah pohon, dari jauh ia melihat, seseorang memakai pakaian bola bertubuh mungil. Lucu jika dilihat dari jauh. Dia sedang bermain bola, karena Agni penasaran, ia mendekati orang itu

            “Hei!” sapa Agni dengan menepuk pundak orang itu.

            “Ampun mak!” teriak orang itu sambil mengangkat tangannya. Latah.

            “Hahaha, kagetnya enggak usah lebay!” ledek Agni. Orang itu memandang Agni bingung.

            “Siapa kamu?” tanyanya. Agni tersenyum.

            “Agni, salam kenal ya!” Agni mengulurkan tangannya.

            “Oh, aku Emir Mahira, panggil aja Emir,” balas orang yang bernama Emir membalas uluran tangan Agni.

            “Main bola bareng yuk!” ajak Agni. Emir terkejut, lalu memandang Agni serius.

            “Kamu kan cewek, emang bisa main?” tanya Emir. Agni berkacak pinggang, lalu menggelengkan kepalanya.

            “Hahaha, Masa Agni Tri Nubuwati enggak bisa? Ya bisa lah! Aku sering kali main sama Cakka!” jawab Agni.

            ‘Cewek manis kayak gini.. bisa main bola? Hmm, menarik,’ batin Emir memandang Agni. Lalu Emir mulai meletakkan bola berwarna putih-hitamnya dan..

DAG! Kaki kanannya menendang dengan kuat.

            -Singkat Cerita-

            “Yes! Gol ke 5!” seru Agni. Terlihat Emir telah duduk di pinggir dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Agni mendekati Emir, lalu menyerahkan handuk kecilnya dengan senyuman yang manis.

            “Ma..Maa..Makasih..Agni,” ujar Emir. Wajahnya memerah, jantungnya berdetak kencang.

            ‘Ya Allah, terima kasih kau mempertemukanku dengan malaikat manis ini ya Allah! Huwaaaaaaaaaaaaaa!’ batin Emir yang bengong melihat Agni yang masih bermain bola sendirian.

            Tik! Tik! Setitik hujan yang lalu didampingi titik hujan yang lainnya kini turun membasahi wajah Agni yang mendongak, serta kaos bertulis ‘Agniaza’ yang ia pakai.

            “Agni! Hujan! Malah diem disitu!” teriak Emir. Agni kini mengalihkan pandangannya pada Emir. Ia memamerkan gigi putih dan sehatnya, lalu berjalan berteduh disebelah Emir.

            “Wah, udah sore.. Aku mau pulang..,” ujar Agni menatap hujan yang turun deras. Emir memandang Agni, ia teringat bahwa ia membawa payung.

            “Eh, bentar ya, Ag!” Emir berlari kecil menuju tasnya. Agni hanya mengangguk.

            Dinginnya angin yang berhembus bersamaan turunnya hujan, membuat Agni memeluk tubuhnya dan menggosokkan kedua tangannya. Lalu ia melihat seseorang berlari, membawa payung. Agni menyipitkan matanya, sepertinya ia kenal dengan bentuk tubuh itu.

            “Agni! Ayo pulang! Mamamu khawatir nyari kamu!” seru orang itu. Agni tersenyum. Tepat saat itu Emir datang, ia melihat orang yang membawa payung itu. Wajah kecewa yang terpasang di wajah Emir yang sejujurnya imut.

            “Eh, Emir.. aku pulang duluan ya! maaf aku enggak bisa nemenin kamu disini!” pamit Agni. Emir mengangguk perlahan, “Ayo, Cak!” ajak Agni. Orang itu, Cakka.

            ‘Itu.. Cakka kan? Ah! Sialan! Lagi-lagi dia ngerebut orang yang aku suka! Kapan sih dia ngijinin aku ngerasain cinta?’ batin Emir membanting payung yang ia bawa.

                                                                        ***

            ‘Tunggu! Dia tadi kan.. Emir?’ batin Cakka. Agni memandang Cakka.

            “Hoy! Ngelamun ya? hahahha,” kata Agni membuyar lamunan Cakka. Cakka hanya membalas tawa kecil.

            “Ag! Kamu tu bikin aku khawatir aja! Aku kira kamu diculik tau, enggak?!” marah Cakka. Agni memanyunkan bibirnya.

            “Aku main bola kok bukan diculik!” balas Agni. Cakka tersenyum jail.

            “Eh, tadi siapa sih?” tanya Cakka. Agni langsung berhenti manyun gaje. Dan menatap Cakka.

            “Emirr.. lucu ya anaknya! Pendek-pendek kurus kecil gitu!” jawab Agni semangat. Cakka menatap Agni aneh.

            “Kamu suka sama Emir?” tanya Cakka.

            “Enggak,” jawab Agni santai lalu berlari menerobos hujan karena ia kesal dengan Cakka yang jalannya lama sekali.

            “Hoy! Ag! Sadar enggak sih?! hujan!!” teriak Cakka ikut berlari dengan membawa payung.

            ‘Huft, kayanya dia santai yang jawab, berarti dia enggak suka sama Emir.. Amin deh,’ batin Cakka lega.

            “Cakkaaaaa! Kejar akuu!” teriak Agni melambai-lambaikan tangan. Cakka merasa berat membawa payung berwarna hitam polos itu. Lalu ia menutup payung itu, dan berlari mengejar Agni.

                                                                        ***

            Sabtu, 26 Juni 2010, Hari ini Keke berjalan dengan riang dengan membawa sebuah plastik berisi sesuatu yang lumayan besar. Senyumnya sangat lebar, tak dapat diungkapkan kata-kata.

            KRING! Keke menoleh saat mendengar bunyi bel sepeda yang sepertinya tertuju pada dia. Oik, dia tersenyum ke arah Keke. Keke membalas senyuman Oik itu, ia melupakan segala hal yang terjadi kemarin.

            “Loh? Ik, mana hadiahmu?” tanya Keke. Oik menatap keranjang sepedanya. Keke tersenyum.

            “Bareng yuk, Ke! Naik!” ajak Oik. Keke mengangguk setuju, dan menaiki sepeda Oik.

            “Woy! Ibu-ibu, mau naik sepeda aja basa-basii!!” seru seseorang. Sepedanya telah melanggar Oik dan Keke. ya, itu Rio.

            “Ih, aku masih imut en kiyut tau! Masa dibilang ibu-ibu!” keluh Oik melaju lebih cepat. Keke berpegangan erat pada tubuh Oik. Saat Keke menoleh ke kanan, didapatnya Rio menjulurkan lidahnya.

            “Ibu-ibu tukang gosiip!” ledek Rio setengah berteriak.

            “Alah, dasar ember naik sepeda!” balas Keke. Oik tertawa lepas. Dan menjalankan sepedanya lebih cepat. Melanggar Rio.

            “Ash! Sialan! Jangan ditinggal dong!”

                                                            ***

            TAK! Agni menerima lemparan kertas yang mengenai tepat kepala Agni. Agni tersenyum memungut kertas itu.

            ‘Hahaha, pasti Cakka,’ batin Agni. Lalu ia menoleh ke belakang. Tepat dugaannya! Cakka Kawekas Nuraga telah cengar-cengir gaje di belakangnya.

            “Happy Birthday!” ujar Cakka. Agni tersentak kaget. Ia sampai lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia memeriksa hand phone-nya.

            43 new message dan 23 dialled numbers. Agni melihat, ia melihat sms yang menumpuk banyak itu, nomor tak dikenal hanya ada satu yang mengirimkan sms.

            ‘Happy Birthday!’ begitu isinya.

            ‘Siapa ini?’

            Bu Dista, wali kelas Agni, Cakka, dan Obiet kini berjalan memasuki kelas dengan wajah berbinar-binar, ia membawa sesosok laki-laki yang tidak dikenal.

            “Silent please!” seluruh murid di dalam kelas itu, diam.

            “Hari ini, kita mendapat seorang murid baru!” tak ada yang bersuara, semua tetap diam, mungkin hanya ada suara Cakka yang meraut pensilnya diam-diam.

            Lalu, murid baru itu, mulai memasuki kelas. Semua tetap diam. Mata Agni kini melotot, ia tak percaya apa yang dia lihat. Cakka masih saja sibuk meraut tak melihat apa pemandangan yang ada di depan kelas, Obiet terkejut, sama seperti Agni. Murid baru itu tersenyum.

            “Perkenalkan, saya.. Emir Mahira,” pensil Cakka terjatuh, saat telinganya mendengar nama murid tersebut.

            ‘Emir?!’

                                                            To Be Continued