Jumat, 17 September 2010

Tanya Hati part 10 :: Psikopat dan Lelaki Misterius

                        Psikopat dan Lelaki Misterius

 

            “Emir, kamu duduk di sebelah Obiet,” ujar Bu Dista. Emir mengangguk dan berjalan menuju bangku Obiet yang tak jauh dari bangku Cakka dan Agni. Tepat di sebelah bangku Cakka, Emir duduk. Sempat ia melewati bangku Agni. Dan ia tersenyum manis ke Agni.

            ‘Apa sih maunya dia?! Ngeselin!’ marah Cakka dalam hati. Emir dan Cakka masuk ke dalam aksi tatap-tatapan. Emir memandang sinis, Cakka pun tak kalah sinisnya memandang Emir. Obiet yang tahu hanya bisa pusing.

            ‘Kenapa juga ada acara Emir pindah sekolah kesini?’ pikir Obiet memendam kepalanya ke dalam tangannya yang telah di silangkan.

                                                            ***

            “Eh, Ri…,”

            “Rio! Ke kantin yuk!” seru Oik menarik tangan Rio. Keke yang tadinya juga akan mengajak Rio untuk ke kantin hanya memanyunkan bibirnya.

            “Eh iya.. Keke, ayo!” ajak Rio. Keke masih tetap memanyunkan bibirnya. Lalu ia berusaha membuat senyuman di bibirnya.

            “Iya! Ay..,”

            “Ayolah Rio! Cepetan dikit! Hehehe,” Sekali lagi Oik memotong perkataan Keke.           

            “Iya, Ik!” Lalu Rio menoleh ke belakang. Keke tepat disana berdiri dengan memanyunkan bibirnya. Rio terdiam, Keke memandangnya kesal.

            “Ayo.. Ke..,” ucapnya perlahan. Keke melangkah pergi.

            “Aku sama Ray aja!” balas Keke. dalam hatinya ia menggeram kesal. Rasanya kesal melihat sikap Oik yang bisa di bilang sangat manja pada Rio. Ray pun melihat kejadian itu. Keke telah ada di belakangnya, siap untuk mendorong kursi roda yang ia gunakan. Ray menatap Keke dengan mendongakkan sedikit kepalanya.

            “Kamu enggak pa-pa, Ke?” tanya Ray.

            “Huft.. Enggak.. pa-pa,” jawab Keke menghela napas. ‘Aduh, laper.. Tapi, kalau Ray keluar kelas, bisa-bisa diledekin semua anak-anak lagi,’ batin Keke. terkadang ia melirik Ray. Ray yang diam kini tahu apa yang Keke ucapkan dalam hati itu.

            “Laper enggak, Ke? Ke kantin yuk!” ajak Ray. Keke terkejut, kenapa tiba-tiba gini? Seperti Ray bisa membaca pikirannya.

            “Ah, Eh? Tapi kan kalau nanti…,”

            “Stt! Aku laper nih! Ayo ke kantin!” rengek Ray berpura-pura manja. Bukan seperti Ray, melainkan Oik. Keke tersenyum, lalu menganggukkan kepala.

                                                                        ***

            “Rio!” panggil Cakka sedikit berteriak. Rio otomatis menoleh, ia mendekati Cakka tanpa pamit atau berkata apapun pada Oik.

            “Apaan, Cak? Ada kabar buruk apa lagi?” tanya Rio dengan secepat kilat mengerti apa yang Cakka maksud. Lalu Cakka bergerak akan berbisik tepat di telinga Rio.

            ‘E mir se ko lah di si ni’ bisik Cakka seperti anak SD sedang mencoba belajar membaca. Rio terkejut.

            “Emir Mahira itu, Cak? Gila! Ngapain dia ngikutin kita kesini! Emir temen lamamu itu kan, Cak?” tanya Rio tak yakin. Cakka mengangguk lesu.

            “Yang paling nyebelin, dia itu suka AGNI.” ujarnya memberi penekanan nama Agni. Menaikkan satu alis, itu yang dilakukan Rio mendengar perkataan Cakka.

            “Tau darimana kamu, Cak?” tanya Rio.

            “Dari cara dia mandang Agni, senyum ke Agni, sapanya ke Agni, gerak-gerik ke Agni, keliatan banget lah pokoknya!” jawab Cakka menggebu-gebu penuh emosi. Rio menepuk punggung Cakka beberapa kali.

            “Sabar, bro! aku juga senasib kali sama kamu,” sambung Rio berganti mencurahkan isi hatinya pada Cakka.

            “Kok bisa?” tanya Cakka. Rio menghela napas panjang, lalu menatap Cakka dalam-dalam.

            “Pertama, aku ngecewain dua cewek. Kedua, Keke jadi ngehindar terus kalau ketemu aku. Ketiga, dia jadi deket sama Ray. Sial banget idupku,” jawab Rio dengan wajah memelas. Bagaikan kucing tak diberi makan tiga hari atau lebih.

            “Sabar ya, yo. Cobaan emang kejem! Tapi, yakin aja bisa ngelewatin semuanya!” Cakka memberi semangat pada Rio. Rio tersenyum, lalu memeluk Cakka penuh tenaga.

            “Sip, Cak! Makasih!” kata Rio mengakhiri pembicaraan dengan Cakka. Dan ia berlari secepat mungkin menuju kelasnya.

            ‘Dasar emang cinta itu rumit kaya mie ayam.’ batin Cakka berjalan perlahan menuju kelasnya.

                                                                        ***

            “AGNI!” teriak Cakka yang dari kejauhan melihat Agni sedang berjalan masuk kelas. Agni mendengar seseorang meneriakkan namanya, dan otomatis menoleh ke sumber suara.

            “Cakka? Kenapa?” tanya Agni. Cakka berhenti tepat di depan Agni dengan napas tak beraturan. Ia membungkukkan tubuhnya dengan tangan dilutut. Agni sedikit membungkuk juga untuk melihat Cakka.

            “Cakka, kamu enggak pa-pa kan?” tanya Agni. Cakka menggeleng dan tetap mengatur napasnya.

            “Aku habis lari-lari jadinya ya gini! Kan itu biasa, Ag! Hahaha!” jawab Cakka. Agni tertawa kecil. “Gitu aja khawatir.”

            “Eh? Siapa juga yang khawatir? Ih, pede!” balas Agni menyalahkan kalimat terakhir Cakka. Cakka menatap jail pada Agni.

            “Masa sih.. princess?”

            “Apaan deh pakai manggil princess-princess-an segala! Aku enggak suka kali jadi putri!” balas Agni dengan senyum tak kalah jailnya dengan Cakka.

            “Terus?”

            “Kuda! Hahahaha!” canda Agni tertawa lepas. Cakka menggelengkan kepala, heran dengan gadis satu ini. Benar-benar Bukan Cewek Biasa.

            “kalau gitu, putri kuda!” balas Cakka dengan candaan juga. Agni tersenyum lebar, itu mungkin tawanya. Tapi entahlah, karena suara tawa itu tak terdengar.

            “Kalau aku Horse Princes.. Cakka jadi Pangeran Merah Jambu! Hahahha! Pangeran bencong kali ya?”

            “Aneh-aneh aja kamu, Ag!”

            “Kamu juga sama anehnya! Bwee!”

            “Udah ah! Ayo masuk kelas!” ajak Cakka segera menarik tangan Agni masuk ke kelas. Sudah ramai di dalam kelas, sehingga banyak mata memperhatikan mereka berdua yang berjalan masuk, termasuk Emir. Cakka menggandeng tangan Agni dan memasang senyum kemenangan kepada Emir.

            ‘Asem! Gila kali tu bocah! Cakka Kawekas Nuraga, ngajak berantem aja nih,’ batin Emir melihat Cakka dan Agni.

                                                                        ***

            Krik! Bunyi kamera Obiet saat ia memotret seorang gadis, berambut panjang, dengan poni lucu, Oik.

            ‘Aku enggak peduli mau Oik suka sama siapa aja.. Soalnya, enggak ada yang bisa gantiin Oik di hati..’ batin Obiet tersenyum. Lalu kembali mengarahkan kameranya pada Oik secara diam-diam.

            “Woy, Biet!” sapa Cakka. Obiet secara otomatis segera menarik tangan Cakka hingga sejajar dengannya, bersembunyi di balik semak-semak.

            “Stt!” Cakka menatapnya bingung dan juga terkejut.

            “Kenapa?” tanya Cakka dengan suara lirih. Obiet kembali memasang wajah santainya, dan menurunkan kameranya perlahan.

            “Lagi.. ehm.. tau kan?” Cakka memasang tampang penuh jawaban seperti iklan ‘AHA!’ di televisi. Obiet menepuk jidatnya, “Enggak usah pasang tu tampang deh, Cak.. Eneg aku liatnya,”

            “Yaelah, kalo aku senyum, di ece-ecein aja.. kalo si Oik? Dipuji-puji setinggi langit!” ledek Cakka. Obiet tersenyum malu, tapi hanya beberapa detik. Ia kembali ke wajahnya yang pendiam dan datar. “Alah! Tampangmu juga bosenin, Biet! Dataaaar banget.. Kaya orang enggak punya kehidupan,”

            “Kejem banget, Cak,” ujar Obiet. Obiet memanyunkan bibirnya.

            “Bisa juga kamu manyun, Biet! Huahaha..hhh,” tawa Cakka yang kemudian mendapat dekapan secara tiba-tiba dari Obiet. Oik yang sedang membaca novel pun sempat melihat dari jauh semak-semak yang sejak tadi berisik itu.

            “Sst!” Cakka mengangguk.

                                                                        ***

            Awan it berwarna ungu ke kuningan, matahari nyaris saja tak terlihat. Apakah pertanda akan datangnya malam? Tidak. Yang ada justru hujan deras. Tepat di sanalah, taman matahari, Rio, Keke, serta Ray duduk santai melihat matahari yang indah.

            Rio mulai angkat bicara, “Awan hitam mulai berdatangan.. Matahari pun mulai tertutup.. burung-burung pergi berdetuh…”

            “Udah, enggak usah lebay. Langsung ke inti!” potong Keke. Rio tersenyum kecut, baru saja ia belajar membuat puisi dengan Ray. Saat berkata saja, Keke langsung menghentikan. Ray terkekeh.

            “Mau hujan nih! Ke bawah pohon gede sana aja yuk!” ajak Rio. Keke mengangguk. Rio mendorong kursi roda Ray. Keke berlari cepat, karena beberapa tetes air dari atas langit, mulai mengenai rambut gelombangnya yang panjang.

            Keke memeluk tubuhnya, dan sedikit mengelus-elus supaya sedikit hangat, begitu juga Rio. Tetapi tidak untuk Ray. Dia tetap diam dan memandang lurus kedepan. Keke melihat tatapan lurus Ray itu, dan juga melihat ke depan, penasaran apa sih yang dilihat Ray?

            Sesosok laki-laki memakai pakaian serba putih. Ia terlihat berlari kencang, tapi seketika ia terjatuh. Keke dengan cepat berlari ke lelaki itu.

            “Kamu enggak pa-pa kan?” tanya Keke membantu lelaki itu berdiri. Lelaki itu tak menjawab, dan melepas kasar genggaman tangan Keke. Keke menatap punggung lelaki yang semakin lama tak terlihat. ‘Apaan sih?’ Rio segera berlari menghampiri Keke.

            “Nanti kamu sakit, Ke.” Ujar Rio mengajak Keke kembali berteduh. Ia juga memakaikan jaket hitam yang bertulisan ‘AIO’ pada Keke. Ray dari kejauhan terus melihat sejak tadi. Matanya berkaca-kaca.

                                                                        ***

            Agni berlari di gelapnya malam, dan derasnya hujan. Memang sakit karena terkadang ia terjatuh. Dan saat ia bangkit berdiri, ia sudah merasa tidak kehujanan. Remang-remang warna biru terasa. Ia menoleh kebelakang. Cakka berdiri disana, dengan payung biru dan senyum manis.

            “Cakka?”

            “Kalau hujan-hujan, nanti sakit loh!” ujar Cakka. Agni menundukkan kepala. “Kamu kenapa, Ag? Kok lari-larian waktu ujan gini sih?”

            Agni belum menjawab, ia masih menundukkan kepala. Perlahan air mata mengalir. Cakka tahu Agni menangis, setelah ia mengelus pipi gadis itu dengan lembut. “Ibuku.. Kabur,” Cakka terkejut. Aku memang belum pernah menceritakan tentang Ibu Agni pada kalian semua. Tapi, Ibu Agni adalah psikopat. Saudara kandung Agni pun pernah dibunuh oleh Ibu Agni. dengan memotong kepala saudaranya itu tanpa rasa bersalah.

            “Kenapa.. aa.. Kok bisa?” tanya Cakka semakin penasaran.

            “Waktu berangkat sekolah, aku lupa mengunci kamar Ibuku. Mungkin saat itu Ibu keluar. aku takut, Cak.” Jelas Agni. Cakka merangkul dan mengelus pundak Agni lembut.

            “Sabar ya, Ag.. Pasti Ibumu cepet ketemu.”

            “Aku takut sebelum aku nemuin Ibu, Ibu udah terlanjur bikin masalah di semua tempat!” Cakka memeluk Agni erat. Sebelum amarah Agni keluar. dan mengelus rambut Agni. Agni membalas pelukan erat Cakka, air mata masih mengalir dengan lancar membasahi pipinya.

            “Aku takut,” Ucapnya lagi dengan nada yang sangat tinggi. “Aku ingin ayah cepet pulang.” Cakka masih membawa payung dengan tangannya, dan satu tangannya mengelus rambut Agni, berusaha supaya Agni tenang.

            ‘Emang bahaya, kalau psikopat berkeliaran di kota,’

                                                            ***


TO BE CONTINUED

5 komentar:

  1. bagusssssssss din!
    sereem amat ibunyaa AGNI!

    LANJUTKAN!^^

    BalasHapus
  2. Emir tuh anak IC 2 ya?
    Keren, Lanjut

    BalasHapus
  3. hahaa.. iya, serem yah kak.. wkwk
    @ kak nadia : bkn kaaak.. emir mahira itu yg main jadi Bayu di Garuda Di Dadaku.. hahahaa

    BalasHapus